Finansial (Kebijakan
Keuangan, Inflasi, Hutang Luar Negeri, dll) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Nasional
DISUSUN OLEH :
DJURIATUN
(12110120)
EKA LISTIANA ARIYANI
(12110278)
KURNIA ANGGRAENI
(13110935)
RENDY FRIDAY
(15110742)
RIZKI RAHMAN
(19110073)
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Indonesia memiliki ekonomi
berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah
memiliki lebih dari 164 BUMN
dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan
bakar, beras,
dan listrik.
Setelah krisis finansial Asia
yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset
sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman
bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses
penstrukturan hutang.
Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi hal yang sangat diinginkan semua negara maupun daerah.
Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kegiatan ekonomi yang dapat bernilai positif
dan bahkan dapat pula bernilai negatif. Jika pada suatu periode perekonomian
mengalami pertumbuhan yang positif, maka kegiatan ekonomi pada periode tersebut
mengalami peningkatan, tetapi jika pada suatu periode perekonomian mengalami
pertumbuhan yang negatif, berarti kegiatan ekonomi pada periode tersebut
mengalami penurunan.
Seperti
dikutip dari viva news yang mengatakan bahwa dua lembaga pemeringkat internasional telah menaikkan
peringkat surat utang Indonesia setingkat lebih tinggi. Setelah
Fitch Ratings memberikan peringkat BBB- dari sebelumnya BB+ pada 15 Desember
2011, kini giliran Moody's Investor Services mengangkat peringkat surat utang
pemerintah Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3. Kenaikan peringkat ini menjadikan
Indonesia sebagai negara yang masuk kategori layak investasi atau investment
grade. Outlook atas kedua peringkat tersebut adalah stabil. Kabar
baik itu juga meruyak dalam acara Indonesia's Infrastructure Outlook
2012 di Gedung BRI Jakarta, Kamis 19 Januari 2012. Para peneliti ekonomi
yang hadir dalam acara itu percaya bahwa kategori layak investasi dan peringat
surat utang itu segera memacu ekonomi nasional. Faktor yang mendorong Moody's menaikkan peringkat surat utang pemerintah Indonesia
adalah pertama, Moody's mengantisipasi kebijakan finansial akan sejalan
dengan peringkat Baa. Kedua, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan
ketahanannya terhadap guncangan eksternal. Ketiga, adanya kebijakan
mengatasi kerentanan finansial, sedangkan keempat, sistem perbankan yang
sehat dan mampu menahan guncangan.
Utang luar negeri merupakan jenis
pinjaman yang berasal dari luar negeri dan memiliki persyaratan tertentu yang
dibebankan kepada pihak (negara) penerima utang tersebut. Dalam pengertian
anggaran negara, utang luar negeri disebut juga sebagai sumber pendanaan
alternatif yang digunakan untuk pembiayaan anggaran negara. Di satu sisi, utang
luar negeri dapat menjadi sumber pendanaan anggaran (APBN), akan tetapi di sisi
lain menjadi beban anggaran, karena dibebankan persyaratan pembayaran bunga dan
cicilan pokok utang luar negeri.
Keputusan untuk mengambil utang luar
negeri dikarenakan keterbatasan sumber-sumber pendanaan ataupun pembiayaan di
dalam negeri. Pemerintah membutuhkan pendanaan yang cukup besar untuk sejumlah
pengeluaran yang tidak bisa hanya mengandalkan dari sumber penerimaan dalam
negeri. Misalnya, untuk keperluan penyediaan infrastruktur, pendanaan tahap
awal pelaksanaan program pembangunan, dan pendanaan dalam negeri lainnya.
Idealnya pengeluaran hendaknya menyesuaikan dengan besarnya sumber-sumber
pendanaan di dalam negeri. Namun, melihat dinamika pembangunan dan kebutuhannya
akan membuka pilihan alternatif pendanaan yang berasal dari luar negeri berupa
utang. Disebut utang luar negeri, karena sumber diperolehnya pinjaman bersyarat
tersebut berasal dari luar negeri. Dalam pos APBN terdapat sumber pembiayaan
yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Bentuk utang luar
negeri dapat berupa dana segar ataupun berupa dana yang sudah dikonversikan ke
dalam bentuk program ataupun proyek tertentu. Bentuk lain dari utang luar
negeri dapat berupa surat-surat utang atau obligasi negara. Sekalipun tergolong
utang luar negeri, akan tetapi seperti surat utang ataupun obligasi negara
memiliki mekanisme pembayaran yang berbeda dengan utang luar negeri. Itu
sebabnya, dalam pencatatan maupun pelaporannya pada APBN dipisahkan antara
utang luar negeri dan pos surat-surat berharga negara. Utang luar negeri yang dibahas di sini
adalah utang luar negeri pemerintah. Dalam hal ini, pihak yang menerima dan
atau mengajukan utang luar negeri adalah pihak pemerintah. Selain utang luar
negeri terdapat istilah lain yang disebut utang luar negeri swasta di mana
pihak yang mengajukan adalah pihak swasta di suatu negara. Sekalipun berbeda,
akan tetapi besarnya utang luar negeri swasta ini pun harus dikendalikan oleh
pihak pemerintah.
PERMASALAHAN
Dari
latar belakang diatas terdapat beberapa permasalahan mengenai masalah financial
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, beberapa diantaranya :
1.)
Masalah
Hutang Luar Negeri
Dalam SKB
Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Nomor 185/KMK 03/1995
dan Nomor : KEP-031/KET/5/1995 pinjaman
luar negeri diartikan sebagai penerimaan negara dalam bentuk devisa
ataupun dalam bentuk devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan
atau jasa yang diterima dari Pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PPHLN) yang
harus dibayar kembali dengan persyaratan tetentu. Sedangkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 54 Tahun 2005 pengertian pinjaman luar negeri adalah sumber pembiayaan negara yang
berasal dari negara asing, badan/lembaga keuangan internasional atau dari pasar
uang internasional yang berbentuk devisa, barang, dan atau jasa termasuk
penjaminan yang mengakibatkan pembayaran di masa yang akan datang yang harus
dibayar kembali sesuai kesepakatan bersama.
Dana dari luar negeri yang diterima oleh
pemerintah untuk membiayai pembangunan sebelumnya dikenal dengan istilah
“Bantuan Luar Negeri” . Istilah ini berasal dari pengertian/definisi yang diberikan
pihak lembaga keuangan internasional yaitu : “Official Development Assistant
consisting of fund made available by goverment on consessional terms primarily
to promote economic development and the welfare of the developing countries”.
Adapun faktanya, dana yang berasal dari luar negeri yang diterima Indonesia
terdiri dari pinjaman luar negeri (loan) dan hibah (grant).
Istilah “Bantuan Luar Negeri” lebih menonjolkan kepada peran dan tujuan
diberikannya suatu bantuan sesuai dengan sudut pandang si pemberi bantuan.
Sedangkan penggunaan istilah “Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN)” lebih
menunjukkan adanya transparansi dan keterusterangan. Sebagaimana diketahui
suatu bantuan dalam bentuk pinjaman mengandung kewajiban dan persyaratan serta
risiko yang harus ditanggung oleh peminjam. Dengan demikian, apabila dilihat
dari sisi pemerintah sebagai penerima bantuan maka istilah “Pinjaman/Hibah Luar
Negeri” lebih tepat untuk digunakan.
Sebenarnya
lebih tepat disebutkan istilah-istilah yang berhubungan dengan utang luar
negeri. Seperti halnya di dalam penganggaran atau pembukuan, jika berutang,
maka akan dikenal istilah bunga utang dan cicilan utang. Begitu pula dalam
pengertian utang luar negeri terdapat beberapa istilah yang merupakan
komponen-komponen di dalam utang luar negeri pada APBN. Beberapa komponen di
dalam utang luar negeri pada APBN terdapat pembayaran bunga utang luar negeri,
penarikan pinjaman luar negeri, dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
Setiap kali pemerintah mendapatkan utang luar negeri, maka pencatatannya
dilakukan pada pos pembiayaan APBN, yaitu pada kelompok pos pembiayaan luar
negeri. Setelah mendapatkan persetujuan dari DPR RI, pemerintah akan mengajukan
secara resmi penarikan pinjaman dari negara lain ataupun kelompok/konsorsium tertentu
untuk mendapatkan pinjaman. Perjanjian utang yang ditandatangani meliputi
besarnya bunga utang dan besarnya pembayaran cicilan pokok utang. Keseluruhan
penarikan utang luar negeri tersebut dicatat pada APBN, yaitu pada pos
penarikan pinjaman luar negeri bruto. Ada dua macam bentuk penarikan utang luar
negeri yang dicatat dalam APBN, yaitu pinjaman dalam bentuk program dan
pinajaman dalam bentuk proyek.
Bunga utang merupakan beban finansial
yang dikenakan kepada pihak peminjam/pengutang sebagai bentuk konsekuensi yang
telah disepakati. Pembayaran bunga utang luar negeri dalam APBN dicatat di
dalam pos pengeluaran rutin, yaitu pada pos pembayaran bunga utang atau masuk
ke dalam pos pembayaran bunga utang luar negeri. Dimasukkannya pembayaran bunga
utang luar negeri ke dalam pos pengeluaran rutin dikarenakan untuk menunjukkan
besarnya beban anggaran sebagai konsekuensi keputusan pemerintah mengambil
utang luar negeri. Selain bunga utang luar negeri, pemerintah diharuskan pula
membayarkan sejumlah cicilan pokok utang luar negeri. Besarnya pembayaran
cicilan tersebut disesuaikan dengan kesepakatan utang antara pemerintah dan
pihak yang memberikan utang kepada pemerintah. Dalam hal ini, utang luar negeri
yang telah diterima akan dibayarkan secara bertahap hingga masa berakhirnya
atau masa jatuh tempo utang luar negeri pemerintah. Karena sifatnya tidak
mendesak, maka pencatatannya ditempatkan pada pos pembiayaan APBN, yaitu pada
pos pembiayaan luar negeri dan pos pembayaran cicilan pokok utang luar negeri (amortisasi).
Lalu
berapakah besarnya total utang luar pemerintah?
Pengelolaan
utang luar negeri pemerintah dilakukan langsung oleh Kementrian Keuangan RI
atau Departemen Keuangan RI. Total utang luar negeri pemerintah tidak
dicantumkan dalam APBN, karena APBN hanya mencatat aliran anggaran yang masuk
dan keluar. Untuk utang luar negeri dikelola secara khusus pada direktorat
jenderal (ditjen) pengelolaan utang negara. Ini berarti pencatatan mengenai
besarnya total utang luar negeri pemerintah Indonesia dapat diketahui melalui
situs Departemen Keuangan (Depkeu) atau dapat pula langsung menuju situs Ditjen
Pengelolaan Utang Negara. Pencatatan utang luar negeri pemerintah dilakukan
pula oleh pihak Bank Indonesia pada pos neraca pembayaran yang dicantumkan dengan
istilah posisi utang luar negeri pemerintah. Angka yang dicantumkan dinyatakan
ke dalam satuan mata uang Dolar. Dalam hal ini, pihak BI mencatat pula posisi
utang luar negeri swasta ke dalam ringkasan neraca pembayaran.
2.)
Masalah
Kebijakan Keuangan
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka
mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan
moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih
mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan
fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat
dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan
berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli
masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output.
Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta
menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1.
Anggaran Defisit (Defisit Budget) /
Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah
kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan
negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan
jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2.
Anggaran Surplus (Surplus Budget) /
Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat
pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran
surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai
memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3.
Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang
terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan.
Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta
meningkatkan disiplin.
Untuk
menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam rangka meningkatkan
kinerja dan efisiensi di Departemen Keuangan, maka pada tanggal 23 Juni 2004
dilaksanakannya reorganisasi. Badan Pengkajian Ekonomi,Keuangan, dan Kerjasama
Internasional (BAPEKKI) adalah unit eselon I di Departemen Keuangan yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 2004 dan merupakan
penggabungan dari beberapa unit eselon II yang berasal dari Badan Analisa
Fiskal (BAF) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Pendapatan Daerah
(Dirjen PKPD) serta Biro Kerjasama Luar Negeri dari Sekretariat Jenderal Departemen
Keuangan. Adapun Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Keuangan yaitu Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan
(Puspeku), Pusat Pengkajian Perkajian Perpajakan, Kepabeanan dan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Puspakep), Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Daerah
(Puspekda), Pusat Evaluasi Pajak dan Retribusi Daerah (Puseparda), Pusat
Kerjasama Internasional (Puskerin), serta Sekretariat Badan. Dengan adanya
reorganisasi di Departemen Keuangan, pada tahun 2006 sesuai dengan Keputusan
Presiden Nomor 66 Tahun 2006 nama Bapekki berubah menjadi Badan Kebijakan
Fiskal (BKF). Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sesuai dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Keuangan yaitu Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan
Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, Pusat Pengelolaan Risiko
Fiskal, Pusat Kerjasama Internasional serta Sekretariat Badan.
3.)
Masalah
Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses
meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu)
berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di
pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat
adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakanproses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan
tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya,
tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk
melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga
berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan
untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai
penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering
digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan,
sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga
berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat
antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi
apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
a.) Penyebab Terjadinya Inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan
likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi
dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga
termasuk kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran
negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua
lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal
ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal
(perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan
infrastruktur, regulasi, dll.
Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull
inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana
biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi
permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya
volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap
barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor
produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu
kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi
karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang
bersangkutan dalam situasi full employment dimana biasanya
lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan.
Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang
utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang,
kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di
sektor industri keuangan.
Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation)
terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya
kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang
meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau
berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat
memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau
juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk
tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi
sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di
sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan
bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll,
sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu
juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor
infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
b.) Penggolongan Inflasi
Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi
yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri.
Inflasi berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit
anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya
pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi
dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga
barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri
tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang. Inflasi juga dapat dibagi
berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang
terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu
disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila
kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut
sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila
serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus
berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama
disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).
Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan :
1.
Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
2.
Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
3.
Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
4.
Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)
c.)
Dampak
Terjadinya Inflasi
Inflasi memiliki dampak
positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila
inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat
mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan
membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya,
dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali
(hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan
lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan
investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima
pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh
juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka
menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang
memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang
pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun
kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang
pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya,
orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya
pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan
pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi. Inflasi
juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin
menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di
atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia
usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha
membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Bagi orang yang meminjam
uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran
utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam.
Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian
karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat
peminjaman.
Bagi produsen, inflasi
dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada
kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk
melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun,
bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan
produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa
menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup
mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya
terjadi pada pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu
negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat
spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit
neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.
Peran bank sentral terhadap Inflasi
Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi. Bank
sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada
tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang
independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak
di luar bank sentral -termasuk pemerintah. Hal ini disebabkan karena sejumlah
studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen — salah satunya
disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter
untuk mendorong perekonomian — akan mendorong tingkat inflasi yang lebih
tinggi. Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat
suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, bank sentral
juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini
disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan
oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation
targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk
oleh Bank Indonesia.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari
Tulisan Yang telah disajikan oleh kami dapat diambil kesimpulan yaitu bahwa
masalah finansial yang mencakup hutang luar negeri, inflasi, dan kebijakan
keuangan sangat berpengaruh sekali dengan pertumbuhan ekonomi nasional Negara
Indonesia. Seperti contohnya penyebab-penyebab terjadinya inflasi akan
berdampak positif dan negative kepada suatu negara atau daerah. Bagaimana
keadaan yang dimana mengharuskannya pemerintah mengambil hutang luar negeri,
dll. Maka jika keadaan finansial suatu Negara atau daerah berkembang positif
maka berdampak baik pula dengan keadaan ekonomi suatu Negara ataupun daerah.
2. Saran
Lembaga
pemerintahan Negara kita dipilih sesuai dengan keahlian di bidangnya sehingga
dapat membuat kebijakan-kebijakan yang akan dapat berdampak positif bagi
keadaan finansial Negara Indonesia dan berdampak juga kepada pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA